Jumat, 29 November 2013

Kekuatan, Kepercayaan dan Perak ikatan


Bab XIX Ilmu perak, Kepercayaan.
“Jika dua kekuatan perak yang memiliki kepercayaan bersatu, akan terlahir kekuatan yang mirip dengan sihir tak berbentuk yang dimiliki sihir manapun, itulah kekuatan sejati ilmu perak, perak ikatan”.
Ilmu ini akan mampu melebihi kekuatan fisik apapun, bertahan dari semua serangan sekaligus menyerang dan menghancurkan sekitar dengan cahaya terang.
Syarat terciptanya perak ikatan, Dua silver claimer sejati, memahami ilmu perak yang mampu mengendalikan emas sekalipun, dan ikatan khusus antara keduanya. Ilmu ini tidak akan bisa dilakukan jika ada penolakan walaupun sedikit, di hati dan jiwa.
Untuk kalian semua para penerus Silver claimer, Ilmu ini adalah bentuk jiwa yang murni. Pertanda kalian sudah memahami esensi duniawi. Bangkitlah dan jadilan Silver claimer sejati.
-Silva de Salvare
***
Sudah semuanya kami usahakan. Membasmi komplotan cecunguk perompak, memotong jalur komunikasi mereka sejak lama, bahkan menghalau militer pemerintah negara  lain supaya Senjata itu tidak jatuh dipakai untuk hal buruk. Tapi sepertinya tetap, takdir tak bisa diubah.
Sejak kemampuan ini dikembangkan selama berpuluh-puluh tahun, Kebaikan terwujud...namun kejahatan pun tetap lahir. Layaknya hitam dan putih, cahaya dan bayangan. Kedamaian diusahakan terjaga, tapi tetap saja, dibalik itu, senjata pemusnah tetap tercipta sebagai penyeimbang dunia. Seharusnya kami tidak menciptakan itu dulu.
Kami tidak menyangka akan bertemu dengan White Gold Claimer disini dan dia berhasil mengambil alih senjata itu. Silver Ray. Senjata berbentuk kapal laut yang bisa terbang di angkasa yang mampu menghancurkan 1 negara sekalipun.
Walaupun kami berhasil menangani para kurcaci nya...White Gold Claimer...sulit dikalahkan. Semua jurus kami kerahkan. Kekuatan White Gold- nya terlalu kuat untuk kami. Belum lagi kami juga harus menon-aktifkan Silver Ray. Kami hanya memiliki 1 pilihan, memgalahkan White Gold Claimer sekaligus menghancurkan Silver Ray, dalam 1 serangan.
Kami saling bertatapan. Kami sudah sadar sejak tadi apa yang harus kami lakukan. Demi melindungi semuanya, demi melindungi masa depan, demi melindungi perak sejati...kami harus melakukan ilmu yang sudah kami latih berkali-kali. Kami sama sekali tidak menyangka akan memakainya di kondisi sesulit ini. Artinya, kami harus mengorbankan nyawa.
Sudah saatnya...aku berharap, siapapun yang membaca kitab ilmu perakku, akan menyadari, bahwa sejarah akan berulang. Dan mereka pun akan melakukan hal yang sama dengan kami...
“jiwaku kutitipkan padamu...”, ucapnya sambil tersenyum.
“Terima kasih sayang...yakinlah, pasti berhasil...”, hanya itu yang bisa kuucapkan dan aku membalasa senyumnya.
Tangan kiriku dan tangan kanannya saling berpegangan, jari kami terpaut erat dan perak kami bersatu. Sedangkan tangan lainnya kami letakkan ke dada kami, merasakan detak jantung kami dalam penyatuan...
Perlahan...kekuatan itu semakin terasa.
Selagi kami berkonsentrasi, White Gold Claimer terus-terusan menyerang kami.  Silver Ray pun bersiap untuk menembakkan kekuatan perak plasmanya.
Fokus...
Yakin...
Tanpa perlu berbicara, suara kami sampai di hati masing-masing. Karena ikatan ini lebih dari hanya sekedar cinta. Karena kami, saling percaya.
“Aku mencintaimu...”
Dengan harapan terakhir kami... mengarahkan tangan kami yang berpautan ke arah White Gold Claimer dan silver ray...dan kami pun memejamkan mata, lalu tersenyum...
“Perak...ikatan!”

======================

Inspirasi: Manga- Rave Vol.16 karya Hiro Mashima

Kamis, 28 November 2013

Karena aku, Tak terkalahkan.


Hujan deras. Aku hanya bisa terduduk. Di bawah lampu jalan. Jembatan yang sepi dari orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Tentu saja, ini sudah tengah malam dan aku tak tahu lagi harus kemana, bagaimana atau bahkan, untuk apa lagi aku ada disini. Percuma. Percuma. Sia-sia semua.

Dingin.

Rasanya... aku ingin tertidur disini. Terlalu lelah untuk bergerak. Kalau bisa, aku ingin darahku juga berhenti mengalir. Apa perlu aku hantam jantung ini agar semuanya mereda? Ah, tapi entah kenapa aku masih tetap nyaman untuk berpikir sebanyak ini. Untuk apa?

Disaat begini pun air mata ku tak keluar. Tak adakah yang mendengar kan pikiranku ini? Hei? Seseorang disana? Siapapun...

Aku lelah.

Calon istri ditikung oleh orang tanpa aku bisa melakukan apa-apa. Tidak becus dalam pekerjaan. Keluarga mati karenaku. Kenapa...kenapa semua cerita kehidupanku begini? Apalagi yang harus kulakukan? Siapa lagi yang harus kusalahkan? Tuhan? Tidak, itu tidak berguna. Aku juga tahu itu.

“Mati...”

Apa?hanya 1 kata ini yang bisa kuucapkan?

“Mati..mati...mati....mati.mati.mati.mati.”

Tuhan, Kau ada kan? Disana? Kau melihatku kan?

Tuhan, ada alasan kau memberiku hal begini kan?

Tuhan, apa aku masih bisa berguna untuk orang lain? Apa ada artinya aku duduk di sini?

Aku semakin meringkuk, seperti bayi yang berada dalam rahim. Tapi kali ini tidak ada kehangatan ibu. Aku menjatuhkan diriku kesamping. Kemudian akhirnya tergeletak di trotoar.

Hujan semakin deras dan membuat semuanya basah. Tanpa terkecuali. Pakaianku terasa berat, apalagi aku menggunakan jaket kulit seperti ini. Wajahku terasa nyaman ditotok dengan ribuan bulir air yang jatuh dengan cepat dari langit. Entah kenapa tiba-tiba tubuhku terasa lebih rileks dibanding tadi. Rasanya seakan aku tidak peduli semua hal yang ada, aku tidak mau memikirkan yang sudah terjadi tau apapun yang akan terjadi. Aku hanya ingin merasakan saat ini. Disini.

Aku merogoh kantung jaketku. Aku teringat sesuatu. Aku mengeluarkan dompetku dan mengambil sesuatu di dalamnya. Sebuah kertas, dari teman lamaku, teman yang menurutku paling paham akan diriku. Dia mengatakan harus membaca kertas ini kalau aku merasa tidak bisa apa-apa lagi.

“Dibalik kesulitan, ada kemudahan. Dibalik kesulitan, ada kemudahan. Tersenyumlah.”

Lagi, lagi, aku berulang-ulang membacanya. Tiba-tiba aku tersenyum. Ajaib. Aku tidak memikirkan apapun. Dingin masih terasa menyelimuti diri. Tapi,tidak terpikirkan apapun. Aku hanya senyum. Dan tiba-tiba aku tertawa keras sambil tetap tergeletak.

“Bodoh..”

Aku merasa bertenaga. Aku bangkit dan berdiri. Entah kenapa aku terpikir sesuatu. Aku ingin berpose seperti para tokoh utama yang ada di novel aksi atau para superhero yang baru bangkit dari keterpurukan. Aku berdiri, tegak, kakiku mengambil jarak, tangan mengepal, dan aku menunduk dan memejamkan mataku.

Lalu...

“Berubah.”

Aku mengatakannya dengan berbisik, tegas, mengangkat kepalaku dan membuka mataku dan menatap sangar, lurus ke depan. Rahangku mengatup. Dan aku siap untuk menghadapi apapun sekarang. Karena aku, Tak terkalahkan.


Rabu, 27 November 2013

Permintaan Tae


Kalau bukan karena permintaan Tae, Aku tidak akan disini. Bertarung dengan Hantu bodoh ini.

“Sudah menyerahkah kau wahai manusia bodoh? Hahahahahaha”.

Cih, dia benar-benar meremehkanku. Sebentar, kameranya...ah, untung masih ada. Aman. Sekarang aku harus menjauh terlebih dahulu.

“Masih mau lanjut? Tenanglah, akan kubunuh kau segera!”.

Serangan-serangannya Brutal sekali. Amunisiku sudah habis.Tidak mungkin aku menyerang dengan tangan kosong...

Tenang...perhatikan dengan seksama...lihat arah serangannya...

“HEAAARGH!”

Kiri.

“HEAAAARGGGGH!!!”

Kanan.

Setelah ini pasti serangan dari atas.

“MATI KAU!”.

Ini dia! Aku harus segera berguling kebawahnya dan segera melarikan diri.

Ayunannya kuat sekali. Lantainya retak. Ah, bukan saatnya memperhatikan  itu. Lari!

“HEI JANGAN LARI KAU!”

Lari! Tidak usah pedulikan dia! Lari kuzunohaaaaa!! Lariiiii!!!!!

Namun dalam sekejap Kuzunoha terpelanting dan kesulitan berdiri.

“hahahahahahaha, rasakan lemparan Gada ku! Jangan pernah main-main dengan Hantu penguasa kuil ini!”

Gawat. Dia mendekat. Aku pasti mati disini.

Dia semakin mendekat.

Tidak.

Apa yang harus aku lakukan?

Apa yang bisa kujadikan senjata disini?

Aku hanya punya kame....AH! itu dia!

“sekarang, berdo’alah, kau akan kukirim dan menjadi golonganku segera”.

“Tunggu sebentar!”

“apa lageeeeee?”

“sebentar, dengar penjelasanku!”

“heh, yasudah, apa?”

“aku kesini bukan mau mengganggumu. Aku hanya mau mengambil foto bagian depan kuil ini, itu saja.”

“eee....foto?”

“iya foto! Aku Cuma mau foto! Bukan mau membasmimu!”

“hm...aku tetap akan membunuhmu! Kecuali...”

“a-apa..?”

“aku harus ada di dalam foto saat kau memotret kuil ini.”

“aaa....”

“MAU TIDAK?! KUBUNUH NIH!”

“eh-i-iya..iya. boleh”.

“Bagus, yang keren ya.”

“o-okke..ambil posisi disitu ya...”

Hantu ini...ah, yang penting aku tidak mati. Tugasku Cuma ini.

“siaaaap...1...2...3!”

“AAAAAAAAAAAARGHHHHH SILAUUUU!!!! SIALAN KAU MANUSIAAAA!!!”

Oke, sip. Fotonya didapat. Lagian dia hantu, gak mungkin terpotret di dalam sini. Untung aku ganti flashnya dengan flash super ultraviolet. Tugas selesai. Saatnya kabur!

“SIAAAALAAAAAAAAAAAAAN”

Dah om hantu.Kali ini Tae berhutang banyak padaku. Lain kali aku bakal tolak permintaannya.

Selasa, 26 November 2013

Unmei no Senbazuru


Haru terdiam. Tidak bertenaga, sulit untuk bangkit. Rasanya hampir tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain mengerahkan seluruh jiwanya agar dia bisa bergerak.

Kumpulan Senbazuru[1] tergeletak berserakan di tanah. Kuil yang tadinya indah. Porak-poranda.

“Di setiap helai yang kubentuk ini, tersimpan semua perasaan yang ada pada diriku. Seluruh kertas hitam ini sudah menjadi bangau yang menyimpan harapanku selama hidup....harapan untuk membunuhmu!”

Perlahan kumpulan-kumpulan kertas itu terbang. Membentuk bangau raksasa. Menutup langit dan menjadikan langit siang menjadi hitam, kelam.

“Aku berharap kau tak pernah ada, karena kau lemah, karena kau tidak pernah ada saat kubutuhkan, karena kau....KELUARGA KITA MUSNAH!”.

Haru menatap mata sang gadis yang murka dengan dalam. Ekspresi penuh Kemarahan, kebencian, seakan membuat gadis itu semakin tenggelam dalam kegelapan pekat.

“Aku...”


“DIAM KAU!”


Gadis itu menyerbu langsung ke arah Haru. Menendang perutnya dan membuatnya terpelanting ke belakang. Haru merintih.

“Kau tidak perlu beralasan apapun lagi. Aku akan mengirimmu ke neraka sekarang.”

Gadis itu mengangkat tangannya dan menunjuk langit.

Shi no...sennen kuroi tsubasa...[2]”, ucap gadis itu. Lirih.

Langit seakan bergemuruh. Seribu bangau menyeruak. Mengarah ke Haru dan menyerang bersamaan.

Siapapun yakin haru tidak bisa mengelak.

Beberapa inchi lagi sampai seluruh Senbazuru itu mengoyak tubuh Haru.

Sakura no...Hanabira no Suisen.[3]”, terdengar Haru berbisik.

Seketika. Seluruh bangau itu menghantamkan diri ke tubuh Haru.

“kau tidak bisa berbuat apapun lagi terima takdirmu!”

Gadis itu tertawa. Penuh kebencian.

Sadame no ito. [4]

Dan ribuan bangau itu hancur lebur satu persatu dihujani dengan ratusan benang tajam yang keluar dari tempat haru bersimpuh.

Ternyata tepat sebelum Bangau-bangau itu menghujam ke arah Haru. Haru menegluarkan kemampuannya dengan energi yang tersisa. Ribuan sakura mengelilinginya dan menjadi perisai yang tak tertembus.

Gadis itu terkejut. Seluruh harapannya musnah. Dia tidak bisa berkata apapun. Dalam sekejap dia merasakan ketakutan. Dalam sepersekian detik, dia paham, kalau Haru bukan lawannya.

Haru mendekati Gadis itu. Perlahan. Terseok.

“Maafkan aku. Aku memang lemah. Tapi sampai sekarang,tak pernah aku berhenti sedetikpun untuk berusaha jadi lebih kuat. Dan kali ini aku telah membuktikan padamu aku terus berusaha menjadi lebih kuat.”

Haru berjongkok.

“Setiap saat, ketika aku mau tertidur, aku angsung melonjak bangkit, bayangan-bayangan kelam masa lalu akibat pembataian itu tidak bisa hilang. Namun sekarang, aku lega, aku telah menunjukkan padamu bahwa aku bisa lebih kuat, dan menghentikanmu. Karena, aku tidak mau kehilangan keluarga ku lagi. Kau adikku satu-satunya. Aku tidak mau membunuhmu. Tapi, aku Juga tidak mau kegelapan yang merangkul hatimu dengan membangkitkan kebencian-kebencian mu padaku, membuatmu hidup dalam sengsara. Semoga dengan ini kau sadar. “

Haru menyerahkan salah satu benang yang menancap di tanah ke sang gadis. Di benang itu ada Bangau putih yang tidak hancur.

“Bangun Harapan baru yang penuh dengan cahaya impian. Aku percaya padamu. Aku akan selalu mengawasimu. Jaga diri baik-baik, Hikari...”

Haru menuruni tangga kuil. Menghilang dari pandangan. Meninggalkan sang gadis yang menangis, merasakan penyesalan dan harapan secara bersamaan.



[1]: Seribu Bangau kertas
[2]: sayap hitam kematian
[3]: Ribuan kelopak sakura
[4]: Benang takdir