Sabtu, 28 Desember 2013

Ageha masih menghilang dan muncullah kelompok baru



Mereka membawaku ke suatu tempat dengan mobil lapis baja ini. Mataku tidak ditutup, tanganku tidak diborgol. “Tidak perlu, walau kau tau lokasinya, kau tak akan bisa kabur.” kata salah satu dari mereka selagi yang lain menertawaiku.
Well, sepertinya mereka tidak main-main. Mereka bukan kelompok yang sama dengan yang pernah aku dan Ageha singkirkan. Yang “menjemput”-ku saja lebih dari 10 orang dengan peralatan lengkap. Sepertinya mereka juga lebih terlatih dan memiliki banyak peralatan canggih dibanding kelomok-kelompok penjahat picisan lainnya. Hampir setaraf Markas besarku. Aku tidak mau menghabiskan energi sekarang. Ikuti saja apa maunya mereka.
Perjalanan cukup panjang, dari tengah kota dimana mereka menemukanku sampai di tengah padang gurun yang berada di pinggiran kota. Apa mereka mau membunuhku dan menguburku jauh disini? Tidak, Kalau mau membunuhku sudah mereka lakukan dari awal, tidak perlu repot-repot membawaku jauh begini.
Mobil kami berhenti tepat di depan tempat di tengah padang gurun, Seperti sebuah... Taman bermain? “CUTIE LAND”. Aku Cuma bisa mengernyitkan dahiku. Penjaga lain keluar dari mobil baja dan membuka pintu mengawalku di depan dan belakang. Sedangkan aku diapit oleh dua orang. Aku melihat muka kedua penjagaku, aku toleh kanan dan toleh kiri seperti orang blo’on.
“Taman bermain?”, tanyaku. Mereka melihat ke arahku.
“Markas kalian?”, aku masih kebingungan dan salah satu penjaga hanya mengacungkan jempol dan  mengangguk sok keren. Bayangkan saja Arnold di film terminator, rambut tegak ke atas, pake kacamata hitam, tapi kali ini suitnya adalah jas hitam dengan kemeja putih sedang mengacungkan jempolnya.
Kami mengelilingi seluruh alat di taman bermain ini, mereka sepertinya menekan suatu tombol di masing-masing alat. Kemudian kami berhenti di depan Carousel...berwarna pink. Setelah menaiki tangga, beberapa orang yang mengawalku menaiki kudanya dan kurasa itu terpola.
“Kau, naik”. Salah satu pengawal tadi menodongku dengan pistol dan mendorongku ke arah salah satu kuda.
“Ha? C’mooon, masa harus...?”, aku seperti anak kecil yang ogah-ogahan saat disuruh orang tua. Aku kurang suka dengan permainan-permainan begini. Aku, Alpha Male sejati, naik carousel?
Setelah naik, salah seorang pengawal menekan tombol dan carousel itu mulai berputar. berputar...dan berputar...dan tiba-tiba terjadi guncangan. Selagi kuda-kuda ini melaju dan berputar, carousel ini turun ke bawah tanah seperti lift.
5-10 menit, mungkin skitar segitu waktu yang dihabiskan carousel ini berputar dan turun ke bawah tanah. Aku pusing. Tepat sebelum aku mencapi puncak mualku, Carousel ini berhenti bergerak dan sesuatu yang seperti gerbang besar terbuka lebar. Di depan gerbang itu sudah ada seseorang yang menunggu dan dia dikawal oleh dua orang bersenjata lebih canggih dari orang-orang di belakangku.
“Selamat datang, Tuan Agen rahasia... Maaf sudah tidak sopan pada anda dengan langsung menjemput dengan orang yang begitu banyak.”, Sepertinya dia pimpinan disini, atau paling tidak wakil pimpinan. Bukannya membawaku ke dalam, dan langsung menungguku disini. Sangat berani. Berani sekali untuk ukuran pimpinan.
“Tidak Masalah..” jawabku.
“Langsung ke permasalahan, kami meminta bantuan anda...menggunakan kemampuan anda...”, benar-benar efisien.
“Ha... tidak masalah, bisa kita bicarakan, mungkin saya bisa menggunakan jasa anda juga... tapi sebelumnya..saya mau tanya..”
“oh boleh, silahkan..”
“Kenapa harus taman bermain..?”
“Selera Tuan besar..”
“Pink?”
“ya...”
“...”

Minggu, 22 Desember 2013

Karena itu aku berterima kasih



SMP
“Assalamu’alaikum..”, ucapku saat memasuki rumah. Aku baru pulang dari acara ulang tahun di rumah teman. Acara main-main yang lumayan seru dan jadi pengen banyak cerita saat melihat si ibu di dapur. Saat mendekat ke arah ibu, tiba-tiba ibu menamparku dan membentakku. Pipiku pedih.
Setelah beberapa saat, ocehan ibu selesai, dan aku masuk ke kamar, merenung seharian. Siapa yang mau melihat anak laki-laki menangis gara-gara dimarahi orang tua?
SMA
Dalam perjalanan pulang kerumah, di mobil.
Ibu ngobrol sama supir di depan, “Pokoknya, kalau ketahuan make narkoba, ganja atau apalah itu, langsung saya serahkan ke provost. Ga ada bela-bela walau anak sendiri. Salah ya salah. Udah tau salah, kok ya dibuat.”, dan pembicaraan terus berlanjut.
Kuliah
Aku jatuh terduduk, perutku panas, pandanganku kabur.
“sakiiiit...erghhhh”, aku menahan sakit di perutku dan mencengkram perutku dengan erat.  Rasanya seperti mau mati.
“Kau kenapa, udah tau sakit kok makan pun gak teratur, udah ayo, tahan dikit, kita cari becak ke depan komplek, biar langsung ke dokter.”
***
Karena ditampar, aku jadi tahu kalau aku sudah salah karena tidak menepati janji. Aku memang masih remaja saat itu, yang aku pikirkan adalah senang bersama teman-teman. Tamparan itu membuatku sadar untuk taat pada orang tua dan  berusaha untuk jujur. Yah, walau akhirnya aku berusaha jadi lebih cerdik untuk mncari alasan.
Karena tau aku takkan dibela, aku juga berdiri di kakiku sendiri saat akan melakukan kebodohan seperti halnya menggunakan narkoba, Maka aku paham untuk tidak melakukannya. Ketegasan yang jarang ditunjukkan orang tua sekarang, aku beruntung mendapatkannya.
Walau kejam, tegas, tapi ketika aku sakit, beliau langsung bergerak cepat, sigap. Jika tidak mungkin aku yang akan menyesali kebodohanku sendiri sampai lambungku berlubang karena telat makan. Sampai sekarang, aku masih menjadi tetap anak yang belum bisa memberikan banyak hal berarti, namun aku berusaha berpikir untuk menjaga beliau sehat dan aman , terutama saat dirumah.
Bu, terima kasih ya.

Sabtu, 21 Desember 2013

Lupakan Ageha, ini Hari Ibu!



“Bu, masakan hari ini enak!”, aku terduduk kekenyangan di kursi ruang makan.
“Selalu kan?”, Ya bu, masakan ibu selalu enak. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan ini. Tidak masalah Ayah dan saudara yang lain tidak dirumah saat ini, asal ada ibu, masakannya, aku bisa tenang. Oedipus complex? tidak ada yang salah dengan itu kan? Lumrah seorang lelaki bujangan tampan serba bisa sepertiku menyanjung kehadiran seorang ibu.
“Jadi, kapan kamu kembali bertugas?”
“Entahlah bu, yang pasti sampai aku bisa kembali ‘waras’ dan daya analisis dan kritisku kembali. Hal yang harus dilacak kali ini susah, rumit. Aku stuck di kondisi ini.”.
Ibu hanya tersenyum, menyeruput teh bunga chrysantemum kesukaannya.
“Kasus kali ini diambil alih sementara oleh agen yang lain. Mungkin juga bakal selamanya, mereka punya banyak agen berkualitas lainnya.”
“Nak, ibu memang bukan ahli di bidang intelijen, selidik-menyelidiki, detektif-detektifan...”, ibu menatapku dalam sambil tersenyum, “tapi satu hal yang ibu tau, dari dulu sampai sekarang, ketika kamu merasa terpuruk seperti ini,  dan selalu,setiap kali kamu tidak mampu melanjutkan tugasmu, apapun itu, penyebabnya hanya  satu hal”.
Aku terkejut, penasaran. “Apa bu? Aku saja tidak tahu apa penyebabnya...”
“Kamu memang agen rahasia berbakat, tapi termasuk lambat soal beginian yah.”, Ibu menertawakanku.
“hey hey heeeey, udah kasi tau aja kenapa bu..”, aku ikut tertawa.
“hmm.. hmm.. satu hal aja kok nak... cinta”, aku Cuma bisa terbengong, antara membenarkan praduga ku selama ini dan ingin membantahnya. Aku? Yang hebat ini? Hampir gagal karena jatuh cinta?
“lelaki hanya akan jatuh pada dua kondisi saat sedang jatuh cinta, yang pertama... saat dia kesulitan memahami perasaannya sendiri kemudian merasa sulit mengungkapkan perasaannya...”
“Hoooooooo”,
“Yang kedua...”
“Apa bu yang kedua?”
“Saat dia kehilangan orang yang dicintai”.
JLEB! Eh, suara apa itu. Aku hanya bisa memegang dadaku sendiri. Seakan sesuatu terbuka karena suara tadi.
“Ah...”
“Kalau boleh ibu beri saran untuk kamu... Jangan menyerah, kesulitan mengungkapkan perasaan ataupun kehilangan orang yang dicintai bukan jadi alasan, kalau kamu benar-benar cinta, kamu pasti akan menemukannya. Alat penyelidik itu bukan hanya teknologi, tapi semua kemungkinan yang tertinggal yang ada padamu. Barang, kenangan, catatan,kesukaan, bahkan perasaan yang tidak logis sekalipun yang ada padamu, bisa menuntunmu untuk menemukannya.”

Perkataan ibu seperti lilin yang menerangi ruangan kepalaku yang gelap dan kosong akhir-akhir ini. Aku menunduk dan tertawa geli. Sampai harus disadarkan ibu soal begini.
“Eh, kenapa kamu?”
“Gak kenapa-kenapa bu”. Aku tersenyum geli.
“Berarti tebakan ibu bener dong? Kasus kali ini soal wanita ya?”, tawaku meledak.
“Iya bu.”, dan aku terus tertawa.
“Kalau sudah ketemu, bawa kesini ya?”.
Aku beranjak dari tempat dudukku, melarikan diri dari permintaan aneh yang bakal muncul lebih banyak jika pembicaraan ini dilanjutkan.
“hmmm...ntar deh bu, do’akan saja ketemu.”, aku mencium dahi ibu, “Aku kembali semangat!”.
Aku melangkah ke pintu menuju halaman rumah. lalu aku menoleh pada ibu yang masih tersenyum memperhatikanku, “Selamat hari ibu ya Bu!”

Jumat, 20 Desember 2013

Mencari Ageha



Ruangan ini sudah penuh dengan Map sekarang. Peta lokal, internasional, bahkan Atlas, Globe, bentuk peta-peta yang aneh. Bahkan aku mulai membungkus benda-benda dengan peta dan mengikatnya dengan pita. Ada harapan seandainya peta ini jadi kado yang mengatakan Ageha sudah ketemu. Tidak, Aku tidak putus asa kok, Aku belum menyerah, hanya saja aku terlalu lelah.
Aku sudah menandai tempat-tempat yang memungkinkan Ageha bermukim sementara. Informan dari markas besar juga sudah memberikan data dari sana-sini untuk mencari orang-orang yang terlibat dengan Ageha, tempat-tempat yang biasa dikunjungi Ageha untuk menyiapkan perlengkapan misinya, dan untuk kalian tahu, itu benar-benar tidak mudah. Aku juga sudah mengelilingi tempat-tempat yang pernah dia tunjukkan padaku dan tempat-tempat saat kami menjalani misi bersama.
Aku menusuk-nusuk titik-titik di peta seakan-akan bakal ada suara “Ageha ada disini!” yang keluar saat jarum itu menusuk titik yang tepat.
“Ralph, kau kucing kan? Bisa mengendus jejak ageha tidak?”, aku benar-benar seperti orang bodoh menanyakan hal itu.
Paris adalah salah tempat yang aku kunjungi untuk mencarinya. Satu kata kunci, Kopi. Cappucino, Latte, semuanya adalah jenis kopi yang dia minum. Aku mencarinya ke berbagai sudut. Alih-alih menemukannya, aku hanya mendapat sedikit petunjuk dan hampir terkena Paris Syndrome. Kemegahan kota ini seakan memunculkan kecantikan simbolik yang melekatkan ingatanku pada Ageha. Saat itu aku merasa dilema antara  harus kembali ke markas besar dan menyelesaikan misi atau tetap tinggal di paris, menyerah dan mengingat soal Ageha. Tapi, Ageha belum mati aku tahu itu.
Kenanganku melanglang buana. Pencarian ini hanya menambah kenangan yang tak perlu. Jari-jariku memainkan butir-butir huruf scrabble dan membentuk kalimat “Go somewhere”. Ya, aku harus tetap bergerak. Ah, aroma kopi yang menemani pendataanku ini membuatku pusing tapi juga nyaman. Ini bukan cinta kan?